Mau enaknya, ngga mau konsekuensinya

Sedih banget lihat berita di tv (eh, tepatnya dengerin soalnya sambil nyuci piring ga sempat liat dr dekat) mengenai beberapa kasus dibuangnya bayi hasil hubungan pra nikah. 
Campur aduk pikiranku membayangkan sosok-sosok bayi mungil yang tak lagi bernyawa dengan keadaan yang juga membuat sesak di dada: terapung di sungai, terbuang di tempat sampah, kedinginan di semak-semak, dikerubutin semut di pinggir jalan dan berbagai tempat dan kondisi lain yg menjadi saksi bisu hilangnya rasa perikemanusiaan pelaku yang tega membuang anak yang notabene kebanyakan hasil dari perbuatan mereka yang tengah dimabuk kasmaran sampai lupa daratan dan atas dasar suka sama suka.

Apa yang dipikirkannya (pembuang bayi) ketika melihat bayi merah lucu yg baru saja lahir ke dunia itu?
Tak adakah sedikitpun rasa sayang melihat buah hatinya sendiri?
Ataukah semua rasa kasih dan sayang itu terkalahkan oleh rasa malu akan cemoohan dan celaan orang orang disekitar atas lahirnya anak diluar nikah?
Dan pedihnya, semakin kesini semakin banyak pula kasus hamil luar nikah, pembuangan bayi dan kasus aborsi. Itu artinya, semakin rusaknya generasi muda di akhir zaman ini dan semakin berat tugas dan tantangan kita sebagai orang tua.
Dan sangat wajar jika kita ikut merasa marah, sedih, terpukul dan menangis pilu melihat bayi bayi tanpa dosa itu menjadi korban kelabilan dan ketidaksiapan mental ibu dan ayahnya dengan status baru yang bagi mereka dirasa sangat mendadak dan mungkin memalukan (buat mereka dan juga masyarakat); perbuatan mereka yg mengesampingkan dan membunuh rasa perikemanusiaan dalam diri mereka demi menepis rasa malu.
Namun juga tak sepantasnya kita ikut mencela mereka. Karena Rasulullaah telah mengabarkan bahwa seseorang yang mencela pelaku kemaksiatan dan merasa dirinya takkan sampai melakukan kemaksiatan serupa, maka pencela tersebut dengan izin Alloh juga akan melakukan kemaksiatan yang sama sebagaimana orang yang dicelanya. Na'udzubillaahi min dzalik..
Di sisi lain sebaiknya kita berdoa kpd Alloh agar diri kita, keluarga kita dan keturunan kita dijauhkan dari perbuatan buruk semacam itu.
Karena siapa yang bisa menjamin iman kita tetap di level yg sama atau bahkan meningkat?
Siapa pula yg bisa menjamin keistiqomahan kita hingga akhir hayat?
Dan siapa yg bisa menjamin bahwa anak keturunan kita akan aman terbebas dari perbuatan buruk yang dikecam syariat?
Bukankah hati manusia berada dalam genggaman Alloh yang Maha Membolak-balikkan hati hambaNya?
Semoga Alloh menjauhkan kita dari perkara yang menginakan. Aamiin..
Dan melihat fenomena merebaknya zina yg semakin marak ini otomatis akan semakin banyak ditemui kasus kehamilan diluar nikah.
Mungkin ada yang heran juga, disaat pasangan halal menantikan kehadiran buah hati sekian lama, mengapa Alloh menjadikan begitu mudahnya para pasangan tak halal itu menghasilkan anak dari perbuatan haram mereka?
Salah satu hikmah yang saya tangkap adalah, bahwa Alloh menjadikan wanita yang berzina itu hamil agar menjadi aib yang menghinakan di hadapan manusia lainnya sebagai adzab di dunia.
Salah duanya agar menjadi pelajaran bagi wanita lain utk menjaga kesucian agar tdk mengalami nasib memalukan serupa ( utk diambil hikmahnya).
Sebaliknya, lamanya menunggu buah hati atau bahkan ketiadaan buah hati sampai akhir hayat juga bukankah hal yang Alloh takdirkan sia-sia, melainkan sebagai ujian keimanan sesuai kadar keimanan masing-masing hamba, sebagai amalan yang membuahkan begitu banyak pahala jika sang suami dan istri ( yg belum dikaruniai anak) ikhlas dan sabar dalam menerima takdir ini.
Keberadaan anak bukan semata-mata tanda kemuliaan sang hamba, pun ketiadaanya juga bukanlah aib bagi seorang hamba.
Namun keberadaan dan ketiadaan anak merupakan ujian bagi setiap hamba yang Alloh berikan dan Alloh tahan kepada siapa saja yang dikehendakiNya.
Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah

*****
“Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” 
(HR. Tirmidzi no. 2505. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’). Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa yang telah ditaubati.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin, 1: 176)

No comments: